oleh

RI Lobi AS Turunkan Tarif Impor: Komoditas Strategis Jadi Fokus Negosiasi

-Berita-15 Dilihat
banner 468x60

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perdagangan terus melanjutkan negosiasi dagang dengan pemerintah Amerika Serikat (AS) dalam upaya menurunkan tarif impor atas sejumlah komoditas ekspor nasional. Menteri Perdagangan Budi Santoso menyampaikan bahwa proses diplomasi ekonomi ini masih berjalan intensif dan diharapkan dapat memberikan hasil positif sebelum kebijakan tarif baru diberlakukan pada 1 September 2025.

Dalam keterangan pers yang disampaikan di Jakarta, Budi mengungkapkan bahwa Indonesia tengah berupaya keras agar komoditas-komoditas yang tidak diproduksi di AS bisa mendapatkan perlakuan khusus berupa pengurangan atau pembebasan tarif.

banner 336x280

“Untuk komoditas, mungkin belum bisa saya sampaikan. Tetapi dalam proses negosiasi kita juga ingin mendapatkan penurunan tarif seperti komoditas yang tidak dimiliki atau tidak diproduksi AS,” ujar Mendag Budi, Jumat (1/8).

Latar Belakang Ketegangan Tarif

Negosiasi ini muncul sebagai respons atas rencana pemerintah Amerika Serikat menaikkan tarif impor terhadap sejumlah produk dari negara-negara mitra dagangnya, termasuk Indonesia. Beberapa komoditas yang selama ini menjadi andalan ekspor Indonesia ke AS, seperti karet olahan, alas kaki, furnitur, dan produk tekstil, terancam dikenakan tarif hingga 19 persen.

Kenaikan tarif ini dinilai bisa berdampak besar terhadap daya saing produk Indonesia di pasar AS, mengingat sebagian besar produk ekspor tersebut masih mengandalkan keunggulan harga. Oleh karena itu, Kementerian Perdagangan bersama Kementerian Luar Negeri, dan perwakilan Indonesia di Washington DC terus melakukan pendekatan strategis untuk melindungi kepentingan nasional.

“Kita tidak dalam posisi diam. Semua kanal diplomatik kita gunakan agar Indonesia tetap mendapat akses pasar yang adil dan menguntungkan,” tegas Budi.

Strategi: Fokus pada Komoditas Non-Substitusi

Dalam proses negosiasi, pemerintah Indonesia menekankan pada logika bahwa AS seharusnya tidak memberlakukan tarif tinggi pada komoditas yang tidak diproduksi di dalam negeri mereka sendiri. Komoditas seperti natural rubber (karet alam), beberapa jenis rempah-rempah tropis, serta bahan baku tekstil tertentu, menjadi poin utama dalam pembicaraan bilateral.

Pemerintah berargumen bahwa menaikkan tarif atas komoditas yang tidak diproduksi di AS justru akan merugikan pelaku industri dalam negeri Amerika sendiri, yang membutuhkan bahan baku dari negara mitra seperti Indonesia.

“Logikanya jelas: kalau mereka tidak memproduksi barang itu, maka seharusnya tidak dibatasi. Justru kita saling mendukung rantai pasok global,” terang Budi.

Batas Waktu: Menjelang 1 September 2025

Salah satu tenggat penting dalam negosiasi ini adalah tanggal 1 September 2025, yang merupakan waktu efektif diberlakukannya penyesuaian tarif impor oleh pihak AS. Pemerintah Indonesia berharap dapat mencapai titik temu sebelum tenggat tersebut, agar tidak terjadi gangguan pada arus ekspor maupun pelemahan posisi Indonesia di mata mitra dagang lainnya.

Saat ini, pemerintah juga tengah menyiapkan skenario cadangan apabila negosiasi tidak berjalan sesuai harapan. Beberapa opsi yang dikaji antara lain: diversifikasi pasar ekspor ke negara non-AS, insentif bagi pelaku usaha terdampak, hingga diplomasi multilateral melalui forum perdagangan internasional seperti WTO.

“Kita tetap optimistis, tapi realistis juga. Oleh karena itu, semua skenario harus disiapkan,” tambah Mendag.

Dukungan Dunia Usaha dan Harapan Pelaku Ekspor

Asosiasi Eksportir Indonesia (AEI) menyambut baik langkah cepat pemerintah dalam melakukan negosiasi ini. Ketua AEI, Hendro Sumarno, menilai bahwa keterlibatan langsung Menteri Perdagangan menunjukkan keseriusan pemerintah dalam melindungi pelaku usaha nasional.

“Kenaikan tarif 19 persen itu sangat berat bagi kami. Apalagi dengan situasi global yang masih belum stabil. Kami berharap pemerintah bisa segera memastikan kejelasan, karena perencanaan produksi dan pengiriman tergantung hasil negosiasi ini,” ungkapnya.

Para pelaku usaha berharap pemerintah bisa mengamankan setidaknya status quo tarif yang berlaku saat ini, atau lebih baik lagi — menurunkan bea masuk melalui skema kerja sama dagang bilateral.

Peran Diplomasi Ekonomi dan Tantangan Geopolitik

Pakar hubungan internasional dari Universitas Indonesia, Prof. Dewi Kartika, menyebut bahwa negosiasi dagang Indonesia-AS kali ini menjadi ujian penting bagi diplomasi ekonomi Indonesia di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

Menurutnya, meskipun AS merupakan mitra dagang strategis, namun dinamika politik dalam negeri AS yang tengah bersiap menghadapi pemilu juga membuat kebijakan ekonomi mereka cenderung proteksionis.

“Kita harus pandai membaca dinamika domestik mereka. Tekanan terhadap China, India, bahkan Indonesia, itu bagian dari narasi politik domestik mereka. Di sinilah pentingnya pendekatan yang tidak konfrontatif, tetapi diplomatik dan berbasis data,” jelas Prof. Dewi.

Ia juga menyarankan agar Indonesia memanfaatkan peran aktif di forum ASEAN, APEC, dan G20 untuk membangun aliansi negara-negara berkembang dalam menghadapi kebijakan perdagangan yang diskriminatif.

banner 336x280

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *